Bakar Sampah, Didenda Rp 50 Juta
Suara Merdeka - 11 Juni 2010
SOLO -Warga tidak bisa lagi sembarangan membakar sampah, meski hal itu dilakukan di pekarangan rumah sendiri. Sebab bisa terkena ancaman hukuman pidana tiga bulan kurungan, dan atau denda maksimal Rp 50 juta.
Sanksi tersebut terdapat dalam rancangan peraturan daerah (Raperda) Pengelolaan Sampah, yang saat ini sedang dibahas di Panitia Khusus DPRD Surakarta.
Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 37 dan 47 Raperda itu mendapat reaksi peserta yang mengikuti dengar pendapat Pansus dengan sejumlah satuan kerja perangkat daerah (SKPD), lembaga pemberdayaan dan masyarakat kelurahan (LPMK), tokoh masyarakat, dan LSM di Gedung DPRD, Kamis (10/6).
Pasal 37 memuat sejumlah larangan, di antaranya membakar sampah di pekarangan rumah kecuali dengan persyaratan teknis. Juga larangan mengais sampah di tempat pembuangan akhir (TPA), membuang sampah sembarangan, dan sejumlah larangan lainnya.
Sedangkan sanksi pidana diatur dalam Pasal 47, yaitu pelanggaran atas Perda itu diancam hukuman tiga bulan kurungan dan atau denda sebesar-besarnya Rp 50 juta. Selain sanksi pidana, juga akan ada sanksi administrasi.
Perwakilan LPMK Sondakan, Laweyan, Suwardi mempertanyakan mengenai sanksi pidana, terutama hal yang mengatur mengenai membakar sampah di pekarangan itu. ”Harus dijelaskan, apa saja persyaratan teknisnya. Jujur peraturan ini membuat warga khawatir berlebihan,” katanya.
Matikan Pemulung Larangan mengais sampah di TPA maupun TPS, jelas tokoh masyarakat lainnya, dikhawatirkan bisa mematikan mata pencaharian para pemulung. Padahal selama ini, pemulung terbukti mampu mengurangi volume sampah hingga 20 persen. Apalagi keberadaan pemulung di TPA selama ini juga menjadi salah satu bagian dari pemberdayaan masyarakat.
Didik Sugiantoro dari Yayasan Kakak mengusulkan adanya pengelolaan sampah di tingkat kelurahan. Sebelum sampah dibawa ke TPA dapat dikelola terlebih dahulu oleh warga setempat, seperti memisahkan jenis sampah baik organik maupun organik.
Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Surakarta, Satrio Teguh Subroto mengatakan, aturan teknis termasuk larangan membakar sampah di pekarangan sendiri itu akan dibahas lebih lanjut.
Setelah dengar pendapat tersebut masih akan dilakukan sinkronisasi, termasuk masukan dari kegiatan dengar pendapat yang dilangsungkan di DPRD itu.
Meski memuat aturan sanksi pidana, kata dia, penerapannya akan dilakukan secara bertahap. Ketatnya peraturan tersebut diharapkan bisa menumbuhkan kesadaran warga akan kebersihan lingkungan dan takut bila berbuat salah.
Sedangkan mengenai masalah pemulung, kata dia, yang dilarang bukan pemulung, namun kegiatan atau aktivitas mengais sampah yang sudah ditata di TPA maupun TPS.
Wakil Ketua Pansus Pengelolaan Sampah Istianingsih menegaskan, pemberdayaan masyarakat tetap bisa dilakukan, meski ada larangan mengais sampah di TPA. Pengelolaan TPA akan dilakukan oleh pihak ketiga, sehingga warga di sekitar TPA tetap diberdayakan seperti adanya konsep komposing. (G13,J5-56)
Suara Merdeka - 11 Juni 2010
SOLO -Warga tidak bisa lagi sembarangan membakar sampah, meski hal itu dilakukan di pekarangan rumah sendiri. Sebab bisa terkena ancaman hukuman pidana tiga bulan kurungan, dan atau denda maksimal Rp 50 juta.
Sanksi tersebut terdapat dalam rancangan peraturan daerah (Raperda) Pengelolaan Sampah, yang saat ini sedang dibahas di Panitia Khusus DPRD Surakarta.
Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 37 dan 47 Raperda itu mendapat reaksi peserta yang mengikuti dengar pendapat Pansus dengan sejumlah satuan kerja perangkat daerah (SKPD), lembaga pemberdayaan dan masyarakat kelurahan (LPMK), tokoh masyarakat, dan LSM di Gedung DPRD, Kamis (10/6).
Pasal 37 memuat sejumlah larangan, di antaranya membakar sampah di pekarangan rumah kecuali dengan persyaratan teknis. Juga larangan mengais sampah di tempat pembuangan akhir (TPA), membuang sampah sembarangan, dan sejumlah larangan lainnya.
Sedangkan sanksi pidana diatur dalam Pasal 47, yaitu pelanggaran atas Perda itu diancam hukuman tiga bulan kurungan dan atau denda sebesar-besarnya Rp 50 juta. Selain sanksi pidana, juga akan ada sanksi administrasi.
Perwakilan LPMK Sondakan, Laweyan, Suwardi mempertanyakan mengenai sanksi pidana, terutama hal yang mengatur mengenai membakar sampah di pekarangan itu. ”Harus dijelaskan, apa saja persyaratan teknisnya. Jujur peraturan ini membuat warga khawatir berlebihan,” katanya.
Matikan Pemulung Larangan mengais sampah di TPA maupun TPS, jelas tokoh masyarakat lainnya, dikhawatirkan bisa mematikan mata pencaharian para pemulung. Padahal selama ini, pemulung terbukti mampu mengurangi volume sampah hingga 20 persen. Apalagi keberadaan pemulung di TPA selama ini juga menjadi salah satu bagian dari pemberdayaan masyarakat.
Didik Sugiantoro dari Yayasan Kakak mengusulkan adanya pengelolaan sampah di tingkat kelurahan. Sebelum sampah dibawa ke TPA dapat dikelola terlebih dahulu oleh warga setempat, seperti memisahkan jenis sampah baik organik maupun organik.
Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Surakarta, Satrio Teguh Subroto mengatakan, aturan teknis termasuk larangan membakar sampah di pekarangan sendiri itu akan dibahas lebih lanjut.
Setelah dengar pendapat tersebut masih akan dilakukan sinkronisasi, termasuk masukan dari kegiatan dengar pendapat yang dilangsungkan di DPRD itu.
Meski memuat aturan sanksi pidana, kata dia, penerapannya akan dilakukan secara bertahap. Ketatnya peraturan tersebut diharapkan bisa menumbuhkan kesadaran warga akan kebersihan lingkungan dan takut bila berbuat salah.
Sedangkan mengenai masalah pemulung, kata dia, yang dilarang bukan pemulung, namun kegiatan atau aktivitas mengais sampah yang sudah ditata di TPA maupun TPS.
Wakil Ketua Pansus Pengelolaan Sampah Istianingsih menegaskan, pemberdayaan masyarakat tetap bisa dilakukan, meski ada larangan mengais sampah di TPA. Pengelolaan TPA akan dilakukan oleh pihak ketiga, sehingga warga di sekitar TPA tetap diberdayakan seperti adanya konsep komposing. (G13,J5-56)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar