Balarea Utama
Semua negara menginginkan suatu kehidupan yang makmur dan sejahtera secara adil dan merata bagi semua warga negara, tercukupi semua kebutuhan hidupnya. Keinginan-keinginan untuk mencapai kehidupan bernegara yang makmur dan sejahtera sering disebut dengan tujuan negara. Kedua tujuan negara ini hanya dapat dicapai dengan melalui suatu proses yang disebut dengan pembangunan nasional.
Pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia, dan masyarakat Indonesia yang dilakukan secara berkelanjutan, berlandaskan kemampuan nasional, dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta memperhatikan tantangan perkembangan global.
Sejak awal pembangunan Lima Tahun Tahap ketiga (PELITA), pemerintah telah menetapkan untuk mulai mengembangkan sektor industri. Penetapan program PELITA ini mendorong sektor industri tumbuh dengan cepat. Perencanaan yang matang, terbukanya jalan dan kemudahan bagi investor asing yang ingin menanamkan modalnya, serta biaya untuk tenaga kerja yang murah di Indonesia menyebabkan sektor industri tumbuh dengan sangat cepat.
Sektor industri yang berkembang dengan pesat dan beraneka ragam jenisnya, mulai dari industri pakaian, industri pengolahan makanan sampai industri logam. Demikian dengan industri rumah (home industri), industri kecil, industri menengah, hingga industri besar pun ikut merasakan keberhasilan kebijaksanaan pemerintah dalam mengembangkan sektor industri.
Dampak positif dari pembangunan sector industri sudah banyak kita rasakan, mulai dari meningkatnya kemakmuran rakyat, meningkatnya pendapatan perkapita, meningkatnya mutu pendidikan masyarakat, meningkatnya kesadaran akan kesehatan dan masih banyak lagi sisi positif dari pembangunan. Namun demikian semua jenis usaha memiliki dampak atau sisi negatif selanjutnya pemerintah kurang memperhatikan kebijaksanaan yang mengatur tentang dampak atau sisi negatif dari pembangunan yang ternyata sangat banyak, mulai dari kerusakan hutan, penurunan mutu air minum, banjir dan tanah longsor, pengikisan tanah pinggiran pantai dan masih banyak lagi dampak negatif dari pembangunan.
Salah satu dampak negatif pembangunan yang menonjol adalah timbulnya berbagai macam pencemaran, akibat penggunaan mesin-mesin dalam industri maupun mesin-mesin sebagai hasil produksi dari industri tersebut. Ada berbagai bentuk pencemaran, antara lain pencemaran udara yang diakibatkan oleh asap yang dihasilkan sisa pembakaran dari mesin, pencemaran air yang diakibatkan pembuangan sisa industri yang bersifat cair secara langsung tanpa melalui proses daur ulang, pencemaran tanah akibat sampah plastik yang tidak dapat diuraikan oleh tanah dan pencemaran suara dari suara mesin-mesin. Akibat semakin gencarnya para pengusaha berproduksi untuk memproduksi barang dalam jumlah yang sangat besar, maka semakin meningkat sisa pembakaran berupa gas CO, yang berbahaya bagi manusia juga bertambah jumlah, sisa produksi berupa bahan kimia yang berbahaya juga bertambah jumlahnya. Selain itu masyarakat yang mengkonsumsi produk tersebut akan membuang kemasannya dalam jumlah besar maka terjadilah pencemaran akumulasi dari berbagai bentuk pencemaran dalam suatu daerah.
Pembuangan di bidang industri tersebut di satu pihak akan menghasilkan barang-barang yang bermanfaat bagi kesejahteraan hidup rakyat, tetapi di lain pihak industri juga akan menghasilkan limbah yang merugikan. Diantara limbah yang dihasilkan oleh kegiatan industri tersebut adalah limbah bahan berbahaya dan beracun (Selanjutnya disebut limbah B3).
Hal inilah yang seharusnya sudah dipikirkan dan diantisipasi oleh pemerintah sejak memprogramkan pengembangan sektor industri. Bermacam-macam bentuk pencemaran tersebut yang dampak negatifnya dapat dirasakan adalah pencemaran air, karena air merupakan kebutuhan utama dalam kehidupan manusia, mulai dari mandi, minum, mencuci hingga memasak semua memerlukan air. Dampak negatif dari pencemaran air yang dapat dirasakan adalah timbulnya infeksi pada tubuh manusia, akibat dari limbah yang mengandung kuman hepatitis dan kolera yang di tularkan pada pekerja, pembersih jalan, masyarakat di sekitar lokasi pembuangan limbah.
Pencemaran air ini sebagian besar disebabkan oleh sisa produksi berupa limbah cair dari suatu industri yang langsung di buang ke sungai dan tidak di daur ulang terlebih dahulu, sehingga zat-zat berbahaya seperti zat pewarna dan logam-logam berat lainnya dalam jumlah yang melebihi batas yang mampu di toleransi oleh tubuh manusia, sehingga menyebabkan masyarakat sekitar sungai jatuh sakit apabila menggunakan air dari sungai tersebut.
Sebagian besar pencemaran air ditimbulkan oleh limbah bahan berbahaya dan beracun atau yang sering disebut dengan limbah B3. Limbah B3 ini dihasilkan oleh industri-industri yang mengunakan bahan kimia dalam melakukan proses produksinya, seperti pabrik tekstil, pabrik kertas, pabrik gula dan masih banyak lagi industri yang memanfaatkan bahan kimia sebagai bahan pembantu dalam berproduksi. Selain limbah B3 ada juga limbah jenis lain yaitu limbah non B3 yaitu limbah yang sifatnya tidak berbahaya dan beracun serta tidak merusak lingkungan.
Sebagian besar pengusaha sektor industri melakukan pembuangan limbah baik limbah B3 maupun limbah non B3 langsung ke media lingkungan hidup. Fenomena ini banyak sekali ditemukan di dalam kehidupan sehari-hari, yang menyebabkan lingkungan di sekitarnya terganggu kelestariannya dan juga mengganggu kesehatan masyarakat di sekitar lokasi industri tersebut. Cara agar meminimalkan dampak terhadap lingkungan yang timbul dari limbah B3 maupun non B3 adalah dengan menjalankan program pengelolaan limbah.
Pada tahun 1997 pemerintah mengeluarkan UU No.23 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang di dalamnya mengatur tentang pengelolaan limbah. Namun pengaturan secara teknisnya di masukkan ke dalam suatu aturan berupa peraturan pemerintah. Pengaturan secara khusus ini di sebabkan karena sifat berbahayanya bahan-bahan pencemar lingkungan dan juga perlunya pengaturan terhadap pencemaran yang dilakukan secara hati-hati dan terperinci.
Pada sekitar tahun 1990, terjadi impor limbah B3 ke dalam wilayah Indonesia. Tujuan dari impor limbah dari negara-negara industri maju tersebut adalah untuk melakukan proses pengelolaan limbah B3 di Indonesia. Namun pada kenyataannya tidak ada proses pengelolaan terhadap limbah B3 tersebut, dan limbah B3 tersebut langsung di buang secara langsung ke pulau-pulau terpencil. Kenyataan ini menyebabkan ekosistem di sekitar pulau tersebut terganggu dan mengalami kerusakan yang hebat.
Walaupun memiliki karakteristik yang berbahaya bagi lingkungan hidup maupun bagi kesehatan manusia, ternyata limbah B3 dapat digunakan sebagai bahan pembantu dalam melakukan produksi pada beberapa industri tertentu. Indonesia masih memerlukan limbah B3 tersebut sebagai pembantu dalam produksi karena lebih ekonomis dan praktis dari pada menghasilkan sendiri bahan tersebut. Namun limbah B3 untuk jenis-jenis tertentu masih kurang jumlahnya di Indonesia, oleh karena itu dilakukan impor limbah B3.
Hal tersebut seperti pada kasus impor limbah B3 lainnya terjadi pada tahun 1991 dimana sampah impor sebanyak 51 peti kemas (container) yang termasuk bahan berbahaya dan beracun (B3) diimpor dari Belanda berupa aki bekas. Importi limbah tersebut berargumen bahwa bahan timah yang akan diambil dari aki bekas tersebut di dalam negeri persediaannya sangat tidak mencukupi. Kemudian di tahun 2004 limbah dari Singapura yang dimasukkan atau diimpor oleh PT Asia Pasific Eco Lestari (PT APEL) ke Pulau Galang melalui pelabuhan di Batam. Izin Impor tersebut berhasil dan telah mendapatkan izin Bea dan Cukai karena dalam manifes atau list impor disebutkan sebagai pupuk tumbuhan untuk dijadikan sebagai media tanam. Semula komisaris dan direksi PT APEL bersikukuh menyebutkan limbah itu adalah media tanam yang akan digunakan untuk pertanian di Pulau Galang. Tetapi setelah diteliti kembali ternyata bahan tersebut termasuk limbah B3.
Para wakil rakyat menetapkan arah dan kebijakan bidang sumber daya alam dan lingkungan hidup dimana pemerintah berusaha menerapkan indikator-indikator yang memungkinkan pelestarian kemampuan keterbaharuan dalam pengelolaan sumber daya alam yang dapat diperbaharui untuk mencegah kerusakan yang tidak dapat balik. Ini berarti arah kebijakan pemerintah selanjutnya berusaha untuk mengupayakan penggunaan kembali sumber daya alam yang dapat di perbaharui. Sedangkan pemerintah berusaha mengurangi yang ditimbulkan limbah B3 terhadap lingkungan dengan mengupayakan penggunaan kembali limbah B3 tersebut untuk keperluan industri.
Kepmenperindag No. 230/MPP/Kep/7/1997 merupakan suatu pengaturan dalam bidang perindustrian dan perdagangan mengenai barang-barang yang di atur tata niaga impornya. Dimana diantara barang-barang yang diatur tata niaga impornya adalah bahan-bahan pembantu dalam produksi, bahan baku industri makanan dan minuman, kertas karton dan masih banyak lagi jenis barang yang diatur tata niaga impornya. Diantara barang-barang tersebut ada barang yang termasuk dalam kategori limbah non B3 dan limbah B3.
Pemerintah memperbolehkan impor limbah B3 melalui Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia No.231/MPP/Kep/7/1997 tentang Prosedur Impor Limbah B3. Namun tujuan dari impor limbah B3 ini adalah sebagai bahan pembantu dalam melakukan produksi suatu barang tertentu. Di samping Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan tersebut ada ketentuan perundang-undangan yang lain yang melarang impor limbah B3 tersebut, yaitu No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Pertimbangan dikeluarkan Kepmenperindag No.230/MPP/Kep/ 7/1997 adalah untuk memperlancar arus perdagangan barang, menjamin kepastian berusaha dan memberikan perlindungan yang wajar bagi perusahaan/ industri dalam negeri. Sasaran akhir dari Kepmenperindag No.230/MPP/Kep/7/1997 ini adalah untuk memenuhi kebutuhan baku dan bahan pembantu dari industri atau perusahaan dalam melakukan produksi, sehinga usaha ini diharapkan dapat melindungi produksi dalam negeri dari produksi luar negeri. Tujuan akhir dari perlindungan tersebut adalah untuk meningkatkan produksi di dalam negeri terhadap suatu produk dan di harapkan mampu bersaing dengan produk serupa yang berasal dari luar negeri. Namun disisi lain pemerintah melarang dilakukannya impor limbah B3.
Terjadi permasalahan hukum dimana terdapat pertentangan antara dua produk hukum, dimana satu sisi yaitu UU No. 23 Tahun 1997 melarang dengan tegas semua kegiatan impor limbah B3, sedangkan disisi lain dalam isi Kepmenperindag No.230/MPP/Kep/7/1997 dan Kepmenperindag No.231/MPP/Kep/7/1997 memperbolehkan impor limbah B3 untuk kepentingan industri.
Semua negara menginginkan suatu kehidupan yang makmur dan sejahtera secara adil dan merata bagi semua warga negara, tercukupi semua kebutuhan hidupnya. Keinginan-keinginan untuk mencapai kehidupan bernegara yang makmur dan sejahtera sering disebut dengan tujuan negara. Kedua tujuan negara ini hanya dapat dicapai dengan melalui suatu proses yang disebut dengan pembangunan nasional.
Pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia, dan masyarakat Indonesia yang dilakukan secara berkelanjutan, berlandaskan kemampuan nasional, dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta memperhatikan tantangan perkembangan global.
Sejak awal pembangunan Lima Tahun Tahap ketiga (PELITA), pemerintah telah menetapkan untuk mulai mengembangkan sektor industri. Penetapan program PELITA ini mendorong sektor industri tumbuh dengan cepat. Perencanaan yang matang, terbukanya jalan dan kemudahan bagi investor asing yang ingin menanamkan modalnya, serta biaya untuk tenaga kerja yang murah di Indonesia menyebabkan sektor industri tumbuh dengan sangat cepat.
Sektor industri yang berkembang dengan pesat dan beraneka ragam jenisnya, mulai dari industri pakaian, industri pengolahan makanan sampai industri logam. Demikian dengan industri rumah (home industri), industri kecil, industri menengah, hingga industri besar pun ikut merasakan keberhasilan kebijaksanaan pemerintah dalam mengembangkan sektor industri.
Dampak positif dari pembangunan sector industri sudah banyak kita rasakan, mulai dari meningkatnya kemakmuran rakyat, meningkatnya pendapatan perkapita, meningkatnya mutu pendidikan masyarakat, meningkatnya kesadaran akan kesehatan dan masih banyak lagi sisi positif dari pembangunan. Namun demikian semua jenis usaha memiliki dampak atau sisi negatif selanjutnya pemerintah kurang memperhatikan kebijaksanaan yang mengatur tentang dampak atau sisi negatif dari pembangunan yang ternyata sangat banyak, mulai dari kerusakan hutan, penurunan mutu air minum, banjir dan tanah longsor, pengikisan tanah pinggiran pantai dan masih banyak lagi dampak negatif dari pembangunan.
Salah satu dampak negatif pembangunan yang menonjol adalah timbulnya berbagai macam pencemaran, akibat penggunaan mesin-mesin dalam industri maupun mesin-mesin sebagai hasil produksi dari industri tersebut. Ada berbagai bentuk pencemaran, antara lain pencemaran udara yang diakibatkan oleh asap yang dihasilkan sisa pembakaran dari mesin, pencemaran air yang diakibatkan pembuangan sisa industri yang bersifat cair secara langsung tanpa melalui proses daur ulang, pencemaran tanah akibat sampah plastik yang tidak dapat diuraikan oleh tanah dan pencemaran suara dari suara mesin-mesin. Akibat semakin gencarnya para pengusaha berproduksi untuk memproduksi barang dalam jumlah yang sangat besar, maka semakin meningkat sisa pembakaran berupa gas CO, yang berbahaya bagi manusia juga bertambah jumlah, sisa produksi berupa bahan kimia yang berbahaya juga bertambah jumlahnya. Selain itu masyarakat yang mengkonsumsi produk tersebut akan membuang kemasannya dalam jumlah besar maka terjadilah pencemaran akumulasi dari berbagai bentuk pencemaran dalam suatu daerah.
Pembuangan di bidang industri tersebut di satu pihak akan menghasilkan barang-barang yang bermanfaat bagi kesejahteraan hidup rakyat, tetapi di lain pihak industri juga akan menghasilkan limbah yang merugikan. Diantara limbah yang dihasilkan oleh kegiatan industri tersebut adalah limbah bahan berbahaya dan beracun (Selanjutnya disebut limbah B3).
Hal inilah yang seharusnya sudah dipikirkan dan diantisipasi oleh pemerintah sejak memprogramkan pengembangan sektor industri. Bermacam-macam bentuk pencemaran tersebut yang dampak negatifnya dapat dirasakan adalah pencemaran air, karena air merupakan kebutuhan utama dalam kehidupan manusia, mulai dari mandi, minum, mencuci hingga memasak semua memerlukan air. Dampak negatif dari pencemaran air yang dapat dirasakan adalah timbulnya infeksi pada tubuh manusia, akibat dari limbah yang mengandung kuman hepatitis dan kolera yang di tularkan pada pekerja, pembersih jalan, masyarakat di sekitar lokasi pembuangan limbah.
Pencemaran air ini sebagian besar disebabkan oleh sisa produksi berupa limbah cair dari suatu industri yang langsung di buang ke sungai dan tidak di daur ulang terlebih dahulu, sehingga zat-zat berbahaya seperti zat pewarna dan logam-logam berat lainnya dalam jumlah yang melebihi batas yang mampu di toleransi oleh tubuh manusia, sehingga menyebabkan masyarakat sekitar sungai jatuh sakit apabila menggunakan air dari sungai tersebut.
Sebagian besar pencemaran air ditimbulkan oleh limbah bahan berbahaya dan beracun atau yang sering disebut dengan limbah B3. Limbah B3 ini dihasilkan oleh industri-industri yang mengunakan bahan kimia dalam melakukan proses produksinya, seperti pabrik tekstil, pabrik kertas, pabrik gula dan masih banyak lagi industri yang memanfaatkan bahan kimia sebagai bahan pembantu dalam berproduksi. Selain limbah B3 ada juga limbah jenis lain yaitu limbah non B3 yaitu limbah yang sifatnya tidak berbahaya dan beracun serta tidak merusak lingkungan.
Sebagian besar pengusaha sektor industri melakukan pembuangan limbah baik limbah B3 maupun limbah non B3 langsung ke media lingkungan hidup. Fenomena ini banyak sekali ditemukan di dalam kehidupan sehari-hari, yang menyebabkan lingkungan di sekitarnya terganggu kelestariannya dan juga mengganggu kesehatan masyarakat di sekitar lokasi industri tersebut. Cara agar meminimalkan dampak terhadap lingkungan yang timbul dari limbah B3 maupun non B3 adalah dengan menjalankan program pengelolaan limbah.
Pada tahun 1997 pemerintah mengeluarkan UU No.23 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang di dalamnya mengatur tentang pengelolaan limbah. Namun pengaturan secara teknisnya di masukkan ke dalam suatu aturan berupa peraturan pemerintah. Pengaturan secara khusus ini di sebabkan karena sifat berbahayanya bahan-bahan pencemar lingkungan dan juga perlunya pengaturan terhadap pencemaran yang dilakukan secara hati-hati dan terperinci.
Pada sekitar tahun 1990, terjadi impor limbah B3 ke dalam wilayah Indonesia. Tujuan dari impor limbah dari negara-negara industri maju tersebut adalah untuk melakukan proses pengelolaan limbah B3 di Indonesia. Namun pada kenyataannya tidak ada proses pengelolaan terhadap limbah B3 tersebut, dan limbah B3 tersebut langsung di buang secara langsung ke pulau-pulau terpencil. Kenyataan ini menyebabkan ekosistem di sekitar pulau tersebut terganggu dan mengalami kerusakan yang hebat.
Walaupun memiliki karakteristik yang berbahaya bagi lingkungan hidup maupun bagi kesehatan manusia, ternyata limbah B3 dapat digunakan sebagai bahan pembantu dalam melakukan produksi pada beberapa industri tertentu. Indonesia masih memerlukan limbah B3 tersebut sebagai pembantu dalam produksi karena lebih ekonomis dan praktis dari pada menghasilkan sendiri bahan tersebut. Namun limbah B3 untuk jenis-jenis tertentu masih kurang jumlahnya di Indonesia, oleh karena itu dilakukan impor limbah B3.
Hal tersebut seperti pada kasus impor limbah B3 lainnya terjadi pada tahun 1991 dimana sampah impor sebanyak 51 peti kemas (container) yang termasuk bahan berbahaya dan beracun (B3) diimpor dari Belanda berupa aki bekas. Importi limbah tersebut berargumen bahwa bahan timah yang akan diambil dari aki bekas tersebut di dalam negeri persediaannya sangat tidak mencukupi. Kemudian di tahun 2004 limbah dari Singapura yang dimasukkan atau diimpor oleh PT Asia Pasific Eco Lestari (PT APEL) ke Pulau Galang melalui pelabuhan di Batam. Izin Impor tersebut berhasil dan telah mendapatkan izin Bea dan Cukai karena dalam manifes atau list impor disebutkan sebagai pupuk tumbuhan untuk dijadikan sebagai media tanam. Semula komisaris dan direksi PT APEL bersikukuh menyebutkan limbah itu adalah media tanam yang akan digunakan untuk pertanian di Pulau Galang. Tetapi setelah diteliti kembali ternyata bahan tersebut termasuk limbah B3.
Para wakil rakyat menetapkan arah dan kebijakan bidang sumber daya alam dan lingkungan hidup dimana pemerintah berusaha menerapkan indikator-indikator yang memungkinkan pelestarian kemampuan keterbaharuan dalam pengelolaan sumber daya alam yang dapat diperbaharui untuk mencegah kerusakan yang tidak dapat balik. Ini berarti arah kebijakan pemerintah selanjutnya berusaha untuk mengupayakan penggunaan kembali sumber daya alam yang dapat di perbaharui. Sedangkan pemerintah berusaha mengurangi yang ditimbulkan limbah B3 terhadap lingkungan dengan mengupayakan penggunaan kembali limbah B3 tersebut untuk keperluan industri.
Kepmenperindag No. 230/MPP/Kep/7/1997 merupakan suatu pengaturan dalam bidang perindustrian dan perdagangan mengenai barang-barang yang di atur tata niaga impornya. Dimana diantara barang-barang yang diatur tata niaga impornya adalah bahan-bahan pembantu dalam produksi, bahan baku industri makanan dan minuman, kertas karton dan masih banyak lagi jenis barang yang diatur tata niaga impornya. Diantara barang-barang tersebut ada barang yang termasuk dalam kategori limbah non B3 dan limbah B3.
Pemerintah memperbolehkan impor limbah B3 melalui Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia No.231/MPP/Kep/7/1997 tentang Prosedur Impor Limbah B3. Namun tujuan dari impor limbah B3 ini adalah sebagai bahan pembantu dalam melakukan produksi suatu barang tertentu. Di samping Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan tersebut ada ketentuan perundang-undangan yang lain yang melarang impor limbah B3 tersebut, yaitu No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Pertimbangan dikeluarkan Kepmenperindag No.230/MPP/Kep/ 7/1997 adalah untuk memperlancar arus perdagangan barang, menjamin kepastian berusaha dan memberikan perlindungan yang wajar bagi perusahaan/ industri dalam negeri. Sasaran akhir dari Kepmenperindag No.230/MPP/Kep/7/1997 ini adalah untuk memenuhi kebutuhan baku dan bahan pembantu dari industri atau perusahaan dalam melakukan produksi, sehinga usaha ini diharapkan dapat melindungi produksi dalam negeri dari produksi luar negeri. Tujuan akhir dari perlindungan tersebut adalah untuk meningkatkan produksi di dalam negeri terhadap suatu produk dan di harapkan mampu bersaing dengan produk serupa yang berasal dari luar negeri. Namun disisi lain pemerintah melarang dilakukannya impor limbah B3.
Terjadi permasalahan hukum dimana terdapat pertentangan antara dua produk hukum, dimana satu sisi yaitu UU No. 23 Tahun 1997 melarang dengan tegas semua kegiatan impor limbah B3, sedangkan disisi lain dalam isi Kepmenperindag No.230/MPP/Kep/7/1997 dan Kepmenperindag No.231/MPP/Kep/7/1997 memperbolehkan impor limbah B3 untuk kepentingan industri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar